Pages

Kamis, 27 Januari 2011

Mengajar, Bagaikan Bermain Drama


Beberapa bulan lalu aku masih berstatus pengacara, alias pengangguran banyak acara. Yap! Setelah dinyatakan lulus dengan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) 3,47 dan mendapat ranking 3 se-Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia tak lantas membuatku cepat mendapat pekerjaan sesuai dengan ijazah S.Pd.ku, yaitu menjadi guru. Berbekal otak pas-pasan dan latar belakang keluargaku yang sama sekali tak ada yang ber-background guru aku mulai merajalela ke sekolah-sekolah swasta di kotaku. Karena peraturan Menteri yang sekarang (sebenernya udah lama sih, cuma aku-nya ajah yang baru tahu) bahwa sekolah negeri tidak diperbolehkan mengangkat GTT alias Guru Tidur Tenang, hehe.. nggak dink, GTT ntu Guru Tidak Tetap, maka semakin sengsaralah para fresh-graduate kaya’ aku dan temen-temenku. Hiks.. 
Ternyata dari ribuan sekolah yang aku datangi, haha.. (lebay banget, padahal masih beberapa aja, ya..mendekati sepuluhan lah), nggak ada yang manggil. Sebenarnya ada sih 2 sekolah yang sepertnya memberi harapan, eh, ternyata setelah aku menanti dengan setia di semester 2 (karena janjinya akan memanggil di semester 2) panggilan itu hanya fatamorgana. Sedih, tentu aja. Sebel, of course. Pengen ngata-ngatain, janganlah.. Aku masih punya akal sehat kok, dan juga moral yang tentu aja jadi kualitas dasar seorang guru, tul nggak? Kan ada pepatah, guru mancing berdiri, murid mancing berlari, loh..? hehe, kencing maksudnyah. Jadi ya, meskipun aku kecewa aku tetap sabar and tabah. Soalnya juga, kata Ibu, siapa yang mau terus berusaha, insyaAllah akan mendapat jawaban dari Allah. Tentu aja, diiringi dengan doa.
Tepat pada tanggal 7 Januari 2011, aku mendapat sms dari seorang teman yang mengabari ada lowongan guru bahasa Indonesia di Suara Merdeka. Dengan berbekal alamat yang ada di koran, pada 10 Januari aku diantar pacar cakepku^^ mencari lokasi sekolah tersebut. Cukup mudah mencari lokasi yang cukup strategis di wilayah kota itu. Sekolah swasta dengan basic agama Islam yang dikelola oleh Yayasan Pendidikan Islam itu berdiri kokoh di hadapanku. Pak satpam yang ramah menyambutku di gerbang, dan dengan santunnya menerima berkas lamaran yang udah aku siapin dari rumah. Tiga hari kemudian aku mendapat panggilan tes di sana. Karena waktunya nggak memungkinkan aku bisa datang aku baru bisa memenuhi panggilan tanggal 15 Januari.
Tes wawancara dan microteaching bertubi-tubi dari Kepala Sekolah, Kepala Personalia, sampai Kepala Keuangan kulalui dengan senyuman yang terus mengembang. Sampe’-sampe’ aku lupa gimana caranya cemberut, hehe.. Kan penampilan pertama begitu menggoda gitchu loh, selanjutnya kan terserah guah, hahah. Kepalaku udah berkunang-kunang saat akhirnya aku dinyatakan diterima menjadi tenaga pengajar di sana. Bagaimana tidak, aku dites wawancara, microteaching, sekaligus kesabaran dari jam 08.00-12.00, it’s amazing, ha? Yes, I guess.. Alhamdulillah.. kini status pengacaraku bakal terhapus menjadi “Bu Guru”.
Aku mendapat jatah jam mengajar bahasa Indonesia di kelas 7 dan kelas 10, sekaligus kesenian untuk kelas 7. Aku yang masih shock pas dinyatakan diterima, saat itu juga langsung diminta masuk kelas untuk mengajar pukul 12.40. Meskipun belum siap materi, aku harus tetap bisa profesional. Dengan berbekal buku paket dan LKS (Lembar Kerja Siswa) yang dipinjami dari sekolah aku mulai mengajar. Grogi? So pasti. Nervous? Yes, really. Jadi aku harus tetap tenang, menjalankan peran baruku sebagai seorang guru yang bakal digugu dan ditiru.
Menjadi seorang guru memang bukan hal yang mudah, meskipun pada pelaksanaannya kelihatannya “cuma gitu aja”. Kemampuan mengajar yang sesunguhnya dari figur guru benar-benar dibutuhkan oleh siswa yang menuntut ilmu, kalau tidak, siswalah yang dirugikan. Apalagi yang namanya transfer ilmu, haruslah ilmu yang bener-bener BENAR. Kalau sampai salah, kesalahan itu bisa sampai tujuh keturunan si anak tersebut, karena kelak kalo’ si anak udah gedhe juga bakal jadi orangtua yang ngajarin anaknya. Dan aku bakal diminta pertanggungjawaban malaikat udah ngajarin ilmu yang salah. Makanya, sebenernya guru itu memiliki tanggungan yang berat, tapi ilmu yang diamalkannya sungguh mulia.
Kadang, saat mengajar siswa kelas 7 aku seperti kembali ke masa-masa SMP dulu. Paling sering teringat kalo’ pas diajar nggak merhatiin, ngobrol nggak penting sama temen semeja, sering izin ke kamar mandi padahal jajan di kantin, males nulis yang dicatat guru di papan tulis, makan sembunyi-sembunyi pas pelajaran, dan mengerjakan PR mapel (mata pelajaran) lain saat diajar mapel tertentu. Hmh.. aku kaya’ diingatkan Allah dengan masa laluku yang penuh dengan ke’mbeling’an, hehe. Aku merasa marah dan sebel kalo’ nemuin anak (siswa) yang kaya’ gitu. Langsung aja aku teriak-teriak: “Bisa dilanjutkan tidak?!” Ato’ keliling kelas sambil ngecek semua laci bebas dari PR mapel lain yang belum dikerjain. Nah, yang rada kejam lagi ni (mungkin menurut murid-muridku), aku selalu mengumpulkan buku catatan untuk dicek di akhir pelajaran tanpa konfirmasi lebih dulu. Bakal ketahun siapa yang rajin, siapa yang nggak. Hayo! Yang rajin dapat tambahan nilai, yang nggak rajin ya ogah aku ngasih nilai.
Heyh guys, anak-anakku tercinta, gini-gini bu guru juga pernah jadi siswa kaya’ kalian, jadi bu guru tahu betul gimana kenakalan-kenakalan kalian. Dulu pas aku jadi siswa, aku paling nggak suka dengan ketidakadilan. Saat aku rajin mencatat materi, rajin ngerjain tugas dan PR (ini sebenarnya sifat baekku, sifat yang nakal-nakal tadi muncul kalo’ obatku abis, hehe) nggak pernah dihargain ma guru. Aku yang (menurutku) udah rajin diperlakukan sama dengan temenku yang males. Kalo’ yang nggak ngerjain PR aja nilainya sama dengan yang ngerjain PR dengan sungguh-sunguh, buat apa aku ngerjain PR? Itu pikiranku dulu pas jadi siswa, makanya kadang aku merasa males ngerjain tugas karena guruku nggak adil. Aku nggak mau kejadian yang perah kualami dialami juga oleh murid-muridku yang rajin, jadi aku berbuat seperti itu di kelas yang aku ampu. Ini semua aku lakukan demi menertibkan mereka. Agar ketika ulangan atau ujian, mereka memiliki bahan untuk belajar.
Aku baru sadar saat aku mulai menjalankan profesiku sebagai guru. Mengajar itu tidak hanya sekadar menyampaikan materi, tapi juga belajar memahami karakter orang lain. Menerima berbagai perbedaan yang ada di kelas, lalu meramunya menjadi sesuatu yang indah untuk dapat dinikmati bersama. Mengajarlah dengan hati. Itu yang selalu aku tanemin di jiwaku. Ketika mengajar tanpa hati, ilmu yang disampaikan terasa hambar, tanpa rasa. Makanya dengan ramuan hati dan cinta, pembelajaran dapat tercapai optimal. Meskipun belum sepenuhnya aku lakuin, setidaknya sampai sekarang aku masih berusaha untuk mewujudkannya, karena hal itu bukanlah sesuatu hal yang mudah. Selain itu, kesabaran yang luar biasa juga harus selalu diasah setiap hari, terutama kalo’ pas nemuin anak yang nuakaaallllnya minta ampyun..deh kaya’ murid-murid cowok kelas 7 yang memang similikiti. Aku yang udah capek-capek koar-koar, teriak-teriak nyampein materi, yang sedari pagi-siang belum sarapan pun belum makan siang, eh..malah ditinggal ngobrol sendiri dengan suara gledhek yang seolah-olah mau nantangin aku duel suara. Hasshh..

Aku sering hampir emosi jiwa, tapi aku selalu berusaha untuk sabar dan tahan semua itu dengan mengelus dada dan selalu beistighfar.. Astaghfirullahaladzim… Ampunilah mereka yang telah menyakiti hatiku ya Allah.. They are not more than  just kids.. Hal yang berat kualami hari ini. Beberapa hari ini aku merasa sangat capek banget. Mungkin hanya perlu pembiasaan sebetulnya. Aku berangkat setiap hari ke sekolah maksimal 06.30 harus udah sampai sana, dan pulang dari sekolah jam 14.30. Badanku yang mungkin masih shock belum terbiasa dengan aktivitas yang mak-bedunduk padet itu, setelah sebelumnya statusku memang pengacara tapi lebih santai. Apalagi ditambah semalam aku mimpi lari marathon dari Sampangan-Gunungpati (sebenernya nggak ada hubungannya sih), tapi ajaibnya, bangun tidur badanku remuk redam. Sakit semua. Terutama bagian pundak, pinggang, dan punggung. Ouch..!
Pagi ini aku mendapat jatah jam ngajar 1 dan 2. Dengan keadaan badan yang capek dan rasanya sungguh sempoyongan banget aku harus tetap profesional di depan anak-anak. Memerankan “aku” sebagai seorang guru. Aku yang ketika capek kadang muncul angry-mood alias suka marah-marah, harus menahannya. Aku seakan-akan sedang bermain drama. Karena anak-anak nggak salah, untuk apa aku memarahi mereka karena aku yang sedang capek? Kadang pikiran itu terpatahkan kalo’ ada anak yang rame ato’ nggak dengerin pelajaran. Hash.. Hawanya udah pengen makan meja deh! Udah capek, berusaha ngajar seprofesional, sesabar, dan semaksimal mungkin, eh..malah dicuekin, Arrrgggghhhh…!!!! Guah juga manusia biasa yang bisa marah guys.. Please.. Listen my lesson..
Aku menyadari sesuatu hal dan mendapat pelajaran hari ini. Selain karena teringat betapa guruku dulu juga (mungkin) merasakan seperti yang kurasakan sekarang, aku benar-benar telah belajar. Mengajar bagaikan bermain drama. Dalam keadaan sedih dan capek pun aku harus selalu gembira dan semangat di hadapan anak-anak. Apalagi dalam keadaan bahagia, tentu aja aku harus lebih gembira lagi. Bahkan dalam keadaan sakit, kalo’ masih mampu dan kuat harus tetap gembira dan bersemangat menyambut anak-anak yang setia menanti mentari untuk menuntut ilmu. Hm.. Aku merasa harus masih terus belajar untuk membaca kehidupan. Dan aku akan terus berusaha memahaminya. Mengajar adalah hal yang menyenangkan, makanya aku selalu inget petuah pacar cakepku^^ yang dia dapat dari mana aku juga lupa, Do what u love, Love what u do. And I love to do it (“itis means teaching). Bravo teacher!!!

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © see my interesting:). Template created by Volverene from Templates Block
lasik surgery new york and cpa website solutions
WP theme by WP Themes Expert
This template is brought to you by : allblogtools.com | Blogger Templates